Langsung ke konten utama

Postingan

Review Buku "Catatan Juang" - Fiersa Besari

Judul                            : Catatan Juang Penulis                          : Fiersa Besari Penyunting                    : Juliagar R.N. Penyunting Akhir         : Agus Wahadyo Desainer Cover             : Budi Setiawan Penata Letak                  : Didit Sasono Penerbit                                : Mediakita – Jakarta Selaatan                                         Cetaakan Pertama/2017. Halaman dan ISBN       : 306/978-979-794-549-7 Genre                             : Fiksi/Gaya bahasa santai mudah dibaca Harga                             : 74.800   Sinopsis Seseorang yang akan menemani setiap langkahmu dengan satu kebaikan kecil setiap harinya. Tertanda, Juang.   Review Buku Jika pada buku sebelumnya yakni Konspirasi Alam Semesta, Fiersa Besari menuliskan Sejarah Cinta Juang sang jurnalis yang pergi ke Indonesia Timur sekaligus sebagai pegiat alam, sembari menulisi Ana Tidae (anak sinden Shinta Aksara) surat. Di buku ini Fiersa menceritakan
Postingan terbaru

Prahara

  Sunyi dan gaduh saling berpacu Pada seluruh penjuru di penghujung waktu   Ibu, kita ditengah untaian duka Polemik hidup kini jadi prahara   Sesal apakah masih berguna? Kini air mata tiada lagi makna, kan   Sebutir nasi adalah hidup Satu ucap kata-pun hidup Seuntai doa jugalah hidup   Sayang… Semua dimaknai dengan hidup jika sedang dalam praahara

TITIK TUMPU

Manusia tidak selalu berada dalam stabilitasnya Mengingat, bahwa kerancuan selalu menggerogoti setiap keyakinan, setiap pikiran, juga setiap kelakuan. Sabar sebentar untuk terdiam Berlari tak kan membuat seimbangmu utuh, layak dulu Jangan jalan terpanting, cobalah berporos Singgahlah, kopimu menunggu Tetap jadilah tempat berpijakku Layaknya kamu, aku tak bisa tanpa titik tumpu.

BUKAN SEBABKU

Se sederhana bunga sepatu. Kudamba, tanpa harus menunjukkan segala kebolehan yang ia punya. Anggun-elok-tegak-meliuk di pagar kayu yang hampir setengah windu itu. Kamu tenang, tapi sejujurnya kamu sendiri rapuh, bukan? Jiwa menanggung nestapa. Menjadi sebab layu bungamu sebelum mestinya. Kau tahu apa yang lebih indah dari bungaku ini?  Biar ku beri tahu, jelas dirimu, kan. Tidak, aku sedang serius seperti biasanya. Cukup jelas memang, berulangkali aku melewatkanmu senyum bahkan seringaimu. Sesekalinya aku dapat, selalu ada kebahagiaan menyelinap. Entah dari dirimu, teman, orang orang di sekelilingmu, ah atau bahkan pilihanmu? Yang jelas, aku memilih tidak tahu. Jarak adalah benteng terakhirku. Parasmu terkadang menjadi objek yang aku gerami, namun jelas  munafik jika aku bertutur sama sekali tak merindui. Terimakasih, Sudah tersenyum meskipun bukan sebabku.

Aku Yang Terlambat Denganmu

Hari begitu tega berlalu, hei! sapamu saja belum aku temui Seperti permainan umur 10ku "Hanya Lewat...." Melewatiku begitu saja, tanpa sejenak berhenti Tepatnya, kamu melewatkanku Sengaja ku pilih bisu, Seberapa tahan kamu memilih beku? Rasanya pasrah, kamu batu Namun, aku lebih dari itu Atau saja aku yang terlalu sibuk mendambamu Membuta tak ingin tahu kerangka berpikirmu Membisu, yang kulakukan dulu Sadarku tidak diwaktu yang tepat Berada dalam kenyataan sekarang Kamu berpijak pada pilihanmu Sudahlah, memang ini aku Yang terlambat denganmu Nana Krisdianti Sukoharjo, 01 November 2018